GEREJA KATEDRAL, JAKARTA
Kritik Arsitektur
Metode Kritik Deskriptif - Depictive Criticism
Metode Kritik Deskriptif - Depictive Criticism
Process (Secara
Prosedural)
GEREJA KATEDRAL, JAKARTA.
Gereja Katedral Jakarta (nama resmi: Santa Maria
Pelindung Diangkat Ke Surga, De Kerk van Onze Lieve Vrouwe ten Hemelopneming)
adalah sebuah gereja di Jakarta. Gedung gereja ini diresmikan pada 1901 dan
dibangun dengan arsitektur neo-gotik dari Eropa, yakni arsitektur yang sangat
lazim digunakan untuk membangun gedung gereja beberapa abad yang lalu.
Pada tahun 1826 Ghisignies memerintahkan Ir. Tromp
untuk menyelesaikan "Gedung Putih" yang dimulai oleh Daendels (1809)
dan kini dipakai Departemen Keuangan di Lapangan Banteng. Ir. Tromp diminta
juga membangun kediaman resmi untuk komandan Angkatan Bersenjata (1830) dan
sekarang dikenal sebagai Gedung Pancasila di Jl. Pejambon. Order ketiga pada
Ir. Tromp adalah merancang Gereja Katolik pertama di Batavia. Tempatnya adalah
yang sekarang dipakai Gereja Katedral.
Atas desakan Komisaris-Jenderal Du Bus De
Ghisignies, Ir. Tromp merancang gereja baru berbentuk salib sepanjang 33 x 17
meter. Ruang altar dibuat setengah lingkaran, sedang dalam ruang utama yang
panjang dipasang 6 tiang. Gaya bangunan ini bercorak barok-gotik-klasisisme;
jendela bercorak neogotik, tampak muka bergaya barok, pilaster dan dua gedung
kanan kiri bercorak klasisistis. Menara tampak agak pendek dan dihiasi dengan
kubah kecil di atasnya. Maka, gaya bangungan itu disebut eklektisistis.
Ditambah lagi dua gedung untuk pastoran yang mengapit gereja di kanan kiri
serta deretan kamar-kamar dibelakangnya. Rupanya rancangan Ir. Tromp ini
membutuhkan dana yang cukup besar dan melampaui kemampuan finansial gereja
waktu itu. Maka rancangan ini tidak pernah terlaksana.
Oleh karena itu, gedung yang diperoleh umat Katolik
tersebut, atas usul Ir. Tromp dirombak sedemikian rupa sehingga dapat digunakan
untuk gereja. Bangunan ini sebenarnya adalah gedung dengan sebuah ruangan luas
di antara dua baris pilar. Di kedua sisi panjangnya dilengkapi dengan gang. Di
tengah atap dibangun sebuah menara kecil enam persegi. Di sebelah timur
sebagian dari rumah asli tetap dipertahankan untuk kediaman pastor dan di
sebelah barat untuk koster. Altar Agungnya merupakan hadiah dari Komisaris
Jenderal du Bus Ghisignies. Gereja yang panjangnya 35 meter dan lebarnya 17
meter ini pada tanggal 6 November 1829 diberkati oleh Monseigneur Prinsen dan
diberi nama Santa Maria Diangkat ke Surga.
Seiring dengan berjalannya waktu, gereja tersebut
mengalami banyak kerusakan. Perbaikan yang dilakukan hanya bersifat tambal
sulam saja. Kemudian pada tahun 1859 diadakan renovasi yang cukup besar. Menurut
pengamatan seorang ahli bangunan, menara yang ada di tengah atap merupakan
penyebab terjadinya kerusakan dan kebocoran. Menara tersebut terlalu berat bagi
struktur atap gereja, sehingga menekan tembok dan menimbulkan kebocoran
dimana-mana. Oleh karena itu diusulkan untuk membongkar menara kecil tersebut
dan menggantinya dengan sebuah menara baru yang terletak di atas pintu masuk,
di sebelah barat. Akhirnya pada tanggal 31 Mei 1880 gereja ini mulai
difungsikan lagi setelah selesai direnovasi.
9 April 1890, ditemukan bagian-bagian gereja yang mulai
rusak, Setumpuk kapur dan pasir berserakan dekat sebuah pilar. Ketika debu
sudah mulai turun, kehancuran gereja mulai tampak jelas. Atapnya menganga.
Sebelum peristiwa ini, masih ada 68 bangku terbuat dari kayu jati dan kini
tinggal 10, sisanya rusak berat. Selain itu, yang masih berdiri utuh adalah
altar, pelataran imam dan ruang sakristi serta menara.
Tanggal 1 November 1890 di tanda tangani sebuah
kontrak antara Monseigneur Claessens dan pengusaha Leykam tentang pembelian
tiga juta batu bata. Ukurannya harus sesuai dengan contoh yang dilampirkan dan
harganya ditetapkan 2,2 dan 2,5 sen sebuah. Mulai tanggal 1 Desember 1890,
setiap bulannya harus diserahkan 70.000 buah batu bata dari perusahaan
pembakaran. Jumlah batu bata yang retak dan pecah tidak boleh melebihi 10%.
Dari kondisi ini jelaslah bahwa pembangunan gereja dilakukan secara lebih
professional.
Pada pertengahan tahun 1891 mulai dilakukan
peletakan batu pertama untuk memulai pembangunan gereja tersebut. Setelah
kurang lebih setahun berjalan pembangunan terpaksa dihentikan karena kurangnya
biaya, Uskup baru, Mgr E.S. Luypen SJ (1898-1923) mengumpulkan dana di Belanda
dan Insinyur M.J. Hulswit memulai pembangunan lagi. Batu "pertama"
diletakkan dan diberkati pada tanggal 16 Januari 1899, sebagai tanda dimulainya
lagi pembangunan gereja ini. Pada bulan November balok-balok atap di pasang.
Untuk mendukung dana pembangunan gereja, umat tidak
tinggal diam saja. Badan Pengurus Gereja bersama umat dua kali mengadakan
undian (loterai), satu kali sebelum pelatakan fondamen, kemudian sebelum
pembangunan atas dimulai. Karena subsidi dari pemerintah tetap ditolak, maka
menutup kekurangan itu dikeluarkan obligasi sebesar Fl 50.000,- dan pengumpulan
derma di kalangan umat Katolik maupun di luarnya ditingkatkan.
Selain arsitek baru, ada juga seorang kontraktor
bernama van Schaik. Sedangkan Ir. van Es mewakili Badan Pengurus Gereja sebagai
bouwheer. Konstruksi besi kedua menara digambar dan dikerjakan oleh Ir. van Es
sendiri. 11 tahun sesudah keputusan Badan Pengurus Gereja, 10 tahun sesudah
peletakan batu pertama, gereja selesai. Perlu diingat bahwa selama 7 tahun
pembangunan gereja terhenti karena kehabisan dana, sehingga pembangunan
sebenarnya hanya berlangsung 3 tahun.
“De Kerk van Onze Lieve Vrowe ten Hemelopneming -
Gereja Santa Maria Diangkat Ke Surga" diresmikan dan diberkati oleh Mgr.
Edmundus Sybradus Luypen, SJ, seorang Vikaris Apostolik Jakarta pada tanggal 21
April 1901.
Berbagai peristiwa mewarnai lebih dari 100 tahun
berdirinya Gereja Katedral ini. Kardinal Agaginian, seorang Armenia,
mengunjungi Jakarta pada tahun 1959 dan diterima dengan meriah oleh Gereja dan
pimpinan Negara RI. Pembicaraannya dengan para waligereja dan pembesar ordo
yang berkarya di seluruh Indonesia penting bagi masa depan. Hasilnya diumumkan
pada tahun 1961 : Gereja di Indonesia bukan daerah misi lagi, melainkan Gereja
Bagian yang berdiri sendiri.
Seiring dengan masa 100 tahun ini, pada tahun 1988
dilakukan pemugaran untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan dan membersihkan
lumut serta pengecatan ulang. Disamping itu juga dibangun gedung Pastoran dan
gedung pertemuan yang baru di bagian belakang gereja.
Pada tahun 2002 juga sempat dilakukan pembersihan
dan pengecatan ulang pada dinding luar gedung gereja Katedral karena lumut banyak
tumbuh merambat di dinding. Secara umum bangunan Gereja Katedral berciri Eropa
dengan gaya neo gotik. Yang dibangun oleh arsitek bernama Ir MJ Hulswit,
bangunan Gereja Katedral dilengkapi daun pintu yang menjulang tinggi dan banyak
jendela. Jendela-jendela tersebut dihiasi dengan lukisan yang menjelaskan
tentang peristiwa jalan salib yang pernah dialami oleh Yesus Kristus. Tepat di
bawah lukisan tersebut, di bagian kanan dan kiri gereja terdapat bilik-bilik
yang digunakan sebagai tempat untuk pengakuan dosa. Sementara di bagian depan terdapat
altar suci pemberian dari Komisaris Jenderal Du Bus de Gisignies. Meski sudah
berumur tua, meja altar tersebut masih digunakan sebagai altar utama dalam
berbagai misa.
Ketika gedung ini pertama kali dibangun dulu, para
pejabat genie (pasukan zeni) waktu itu menilai gedung gereja yang menghabiskan
biaya 628.000 gulden rancangan P.A Dijkmans tersebut sebagai "gedung yang
terlampau kuat" mengingat struktur gedung dan material yang digunakan
sungguh-sungguh pilihan yang terbaik. Maka sampai sekarang - 100 tahun
sesudahnya - gereja Katolik utama di Jakarta tetap berdiri tegak.
Sumber:
http://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/sejarah-panjang-gereja-katedral-jakarta
Komentar
Posting Komentar